Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi sesama manusia. Sesuai dengan firman Allah dalam Surat al-Anbiya ayat 107 yang bunyinya,
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Islam melarang manusia berlaku semena-mena terhadap makhluk Allah, lihat saja sabda Rasulullah sebagaimana yang terdapat dalam Hadits riwayat al-Imam al-Hakim,
“Siapa yang dengan sewenang-wenang membunuh burung, atau hewan lain yang lebih kecil darinya, maka Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadanya”.
Burung tersebut mempunyai hak untuk disembelih dan dimakan, bukan dibunuh dan dilempar. Sungguh begitu indahnya Islam itu bukan? Dengan hewan saja tidak boleh sewenang-wenang, apalagi dengan manusia. Bayangkan jika manusia memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran islam, maka akan sungguh indah dan damainya dunia ini.Umat Islam tentu meyakini misi rahmatan lil ‘alamin, sebab istilah rahmatan lil-’alamin telah dinyatakan oleh Al Qur’an. Istilah rahmatan lil-’alamin dipetik dari salah satu ayat Al Qur’an;
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِين
“Wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil-’aalamiin (Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam).” (QS Al Anbiya’ : 107).
Dalam ayat itu, “rahmatan lil-’alamin” secara tegas dikaitkan dengan kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Artinya, Allah tidaklah menjadikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai rasul, kecuali karena kerasulan beliau menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena rahmat yang diberikan Allah kepada semesta alam ini dikaitkan dengan kerasulan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka umat manusia dalam menerima bagian dari rahmat tersebut berbeda-beda. Ada yang menerima rahmat tersebut dengan sempurna, dan ada pula yang menerima rahmat tersebut tidak sempurna.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sahabat Nabi Salallahu ‘Alaihi Wa Sallam, pakar dalam Ilmu Tafsir menyatakan: “Orang yang beriman kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka akan memperoleh rahmat Allah dengan sempurna di dunia dan akhirat. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka akan diselamatkan dari azab yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu ketika masih di dunia seperti dirubah menjadi hewan atau dilemparkan batu dari langit.”
Demikian penafsiran yang dinilai paling kuat oleh Al Hafizh Jalaluddin Al Suyuthi dalam tafsirnya, AlDurr Al Mantsur.
Penafsiran di atas diperkuat dengan hadits shahih yang menegaskan bahwa rahmatan lil-’alamin telah menjadi karakteristik Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam dakwahnya. Ketika sebagian sahabat mengusulkan kepada beliau, agar mendoakan keburukan bagi orang-orang Musyrik, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:
“Aku diutus bukanlah sebagai pembawa kutukan, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat.” (HR. Muslim).
Penafsiran di atas memberikan gambaran, bahwa karakter rahmatan lil-’alamin memiliki keterkaitan sangat erat dengan kerasulan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dalam kitab-kitab Tafsir, tidak ditemukan keterkaitan makna rahmatan lil-’alamin dengan sikap toleransi yang berlebih-lebihan dengan komunitas non-Muslim. Ini berangkat dari kenyataan bahwa rahmatan lil-’alamin sangat erat kaitannya dengan kerasulan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yakni penyampaian ajaran Islam kepada umatnya.
Sebagaimana dimaklumi, selain sebagai rahmatan lil-’alamin, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diutus juga bertugas sebagai basyiiran wa nadziiran lil-’aalamiin (pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan kepada seluruh alam).
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (basyiiran wa nadziiran), tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’ : 28).
Sebagai pengejawantahan dari ayat-ayat ini, seorang Muslim dalam interaksinya dengan orang lain, selain harus menerapkan watak rahmatan lil-’alamin, juga bertanggungjawab menyebarkan misi basyiran wa nadziran lil-’alamin.
Islam tidaklah melarang umatnya berinteraksi dengan komunitas agama lain. Rahmat Allah yang diberikan melalui Islam, tidak mungkin dapat disampaikan kepada umat lain, jika komunikasi dengan mereka tidak berjalan baik.
Karena itu, para ulama fuqaha dari berbagai madzhab membolehkan seorang Muslim memberikan sedekah sunnah kepada non Muslim yang bukan kafir harbi. Demikian pula sebaliknya, seorang Muslim diperbolehkan menerima bantuan dan hadiah yang diberikan oleh non Muslim.
Para ulama fuqaha juga mewajibkan seorang Muslim memberi nafkah kepada istri, orang tua dan anak-anak yang non Muslim.
Di sisi lain, karena seorang Muslim bertanggungjawab menerapkan basyiran wa nadziran lil-’alamin,Islam melarang umatnya berinteraksi dengan non Muslim dalam hal-hal yang dapat menghapus misi dakwah Islam terhadap mereka.
Mayoritas ulama fuqaha tidak memperbolehkan seorang Muslim menjadi pekerja tempat ibadah agama lain, seperti menjadi tukang kayu, pekerja bangunan dan lain sebagainya, karena hal itu termasuk menolong orang lain dalam hal kemaksiatan, ciri khas dan syiar agama mereka yang salah dalam pandangan Islam.
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Ma’idah : 2).
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Islam melarang manusia berlaku semena-mena terhadap makhluk Allah, lihat saja sabda Rasulullah sebagaimana yang terdapat dalam Hadits riwayat al-Imam al-Hakim,
“Siapa yang dengan sewenang-wenang membunuh burung, atau hewan lain yang lebih kecil darinya, maka Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadanya”.
Burung tersebut mempunyai hak untuk disembelih dan dimakan, bukan dibunuh dan dilempar. Sungguh begitu indahnya Islam itu bukan? Dengan hewan saja tidak boleh sewenang-wenang, apalagi dengan manusia. Bayangkan jika manusia memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran islam, maka akan sungguh indah dan damainya dunia ini.Umat Islam tentu meyakini misi rahmatan lil ‘alamin, sebab istilah rahmatan lil-’alamin telah dinyatakan oleh Al Qur’an. Istilah rahmatan lil-’alamin dipetik dari salah satu ayat Al Qur’an;
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِين
“Wa maa arsalnaaka illaa rahmatan lil-’aalamiin (Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam).” (QS Al Anbiya’ : 107).
Dalam ayat itu, “rahmatan lil-’alamin” secara tegas dikaitkan dengan kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Artinya, Allah tidaklah menjadikan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai rasul, kecuali karena kerasulan beliau menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena rahmat yang diberikan Allah kepada semesta alam ini dikaitkan dengan kerasulan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka umat manusia dalam menerima bagian dari rahmat tersebut berbeda-beda. Ada yang menerima rahmat tersebut dengan sempurna, dan ada pula yang menerima rahmat tersebut tidak sempurna.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sahabat Nabi Salallahu ‘Alaihi Wa Sallam, pakar dalam Ilmu Tafsir menyatakan: “Orang yang beriman kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka akan memperoleh rahmat Allah dengan sempurna di dunia dan akhirat. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka akan diselamatkan dari azab yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu ketika masih di dunia seperti dirubah menjadi hewan atau dilemparkan batu dari langit.”
Demikian penafsiran yang dinilai paling kuat oleh Al Hafizh Jalaluddin Al Suyuthi dalam tafsirnya, AlDurr Al Mantsur.
Penafsiran di atas diperkuat dengan hadits shahih yang menegaskan bahwa rahmatan lil-’alamin telah menjadi karakteristik Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam dakwahnya. Ketika sebagian sahabat mengusulkan kepada beliau, agar mendoakan keburukan bagi orang-orang Musyrik, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:
“Aku diutus bukanlah sebagai pembawa kutukan, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat.” (HR. Muslim).
Penafsiran di atas memberikan gambaran, bahwa karakter rahmatan lil-’alamin memiliki keterkaitan sangat erat dengan kerasulan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dalam kitab-kitab Tafsir, tidak ditemukan keterkaitan makna rahmatan lil-’alamin dengan sikap toleransi yang berlebih-lebihan dengan komunitas non-Muslim. Ini berangkat dari kenyataan bahwa rahmatan lil-’alamin sangat erat kaitannya dengan kerasulan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yakni penyampaian ajaran Islam kepada umatnya.
Maka seorang Muslim, dalam menghayati dan menerapkan pesan Islam rahmatan lil-’alamin tidak boleh menghilangkan misi dakwah yang dibawa oleh Islam itu sendiri. Misalnya, memberikan khotbah dalam acara kebaktian agama lain, menjaga keamanan tempat ibadah agama lain dan acara ritual agama lain, atau doa bersama lintas agama dengan dalih “Islam rahmatan lil-’alamin”. Kegiatan-kegiatan semacam itu justru mengaburkan makna rahmatan lil-’alamin yang berkaitan erat dengan misi dakwah Islam.
Sebagaimana dimaklumi, selain sebagai rahmatan lil-’alamin, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diutus juga bertugas sebagai basyiiran wa nadziiran lil-’aalamiin (pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan kepada seluruh alam).
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (basyiiran wa nadziiran), tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’ : 28).
Sebagai pengejawantahan dari ayat-ayat ini, seorang Muslim dalam interaksinya dengan orang lain, selain harus menerapkan watak rahmatan lil-’alamin, juga bertanggungjawab menyebarkan misi basyiran wa nadziran lil-’alamin.
Islam tidaklah melarang umatnya berinteraksi dengan komunitas agama lain. Rahmat Allah yang diberikan melalui Islam, tidak mungkin dapat disampaikan kepada umat lain, jika komunikasi dengan mereka tidak berjalan baik.
Karena itu, para ulama fuqaha dari berbagai madzhab membolehkan seorang Muslim memberikan sedekah sunnah kepada non Muslim yang bukan kafir harbi. Demikian pula sebaliknya, seorang Muslim diperbolehkan menerima bantuan dan hadiah yang diberikan oleh non Muslim.
Para ulama fuqaha juga mewajibkan seorang Muslim memberi nafkah kepada istri, orang tua dan anak-anak yang non Muslim.
Di sisi lain, karena seorang Muslim bertanggungjawab menerapkan basyiran wa nadziran lil-’alamin,Islam melarang umatnya berinteraksi dengan non Muslim dalam hal-hal yang dapat menghapus misi dakwah Islam terhadap mereka.
Mayoritas ulama fuqaha tidak memperbolehkan seorang Muslim menjadi pekerja tempat ibadah agama lain, seperti menjadi tukang kayu, pekerja bangunan dan lain sebagainya, karena hal itu termasuk menolong orang lain dalam hal kemaksiatan, ciri khas dan syiar agama mereka yang salah dalam pandangan Islam.
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Ma’idah : 2).
Comments